14 Januari 2008

NEMO...you've called me


Tulisan di kamar pojok

Sebuah nama...Amalia

Mungkin untuk semua teman dekat saya, nama ini sudah merupakan suatu kebosanan atas sebuah penceritaan yang terus diulang semenjak empat tahun yang lalu. Entah kenapa, tiba-tiba saja saya kembali ingin menceritakan kisah aneh ini. Sebuah kisah yang berjudul “Mencari Herman” dari Dee membuat saya ingin kembali menuangkannya dalam sebuah karya biner hasil rekaan laptop pinjaman ini.

...

Sebuah wajah yang duduk di pojok ruang try out ini masih terus membayang dan membuat semua persiapan yang saya lakukan menjelang ujian menjadi seuah sia-sia belaka. Pagi itu di sebuah lembaga pendidikan yang terkemuka, sejak awal memang saya telah niatkan dari rumah untuk menjadi salah satu bentuk latihan dan bukan mejadi ajang untuk terus meraut pensil runcing yang masih saya lakukan hingga harus menggeser posisi ibu jari saya. Namun entah kenapa pandangan dan pikiran saya menjadi tidak bisa lepas dari sosok misterius di pojok ruangan yang hari ini tampak anggun dengan jilbab putih dan frame kacamata berbentuk simetris yang tidak menggunakan batas bawah. Saat itu yang saya harapkan hanya waktu try out segera berakhir dan entah bagaimana caranya, saya harus bisa berkenalan dengannya.

Akhirnya waktu yang dinanti akhirnya tiba. Sebuah nama yang akhirnya bisa dipanggil dengan 3 huruf singkat itu masih menyimpan sebuah misteri yang menarik untuk ku pecahkan. Si tiga huruf itu adalah seorang murid yang berada di dekat sebuah stadion yang berada di kota Jogja bagian utara. Setelah perkenalan itu pula sebuah foto dan secarik kertas yang bertuliskan nomor telepon saya dapatkan lewat perantaraan seorang teman yang bersekolah sama dengannya. Dari saat itu saya mulai mendapatkan keberanian untuk menelpon dan mendekati sebuah makhluk yang bernama wanita. Bukan fisik yang membuatnya terus bertahan hingga akhirnya kejadian tidak mengenakkan yang bagi saya adalah sebuah upah yang saya dapatkan sebagai upah dari kesetiaan yang lebih lengkapnya akan saya tuliskan di akhir tulisan ini.

Waktu ujian yang semakin dekat malah membuat saya semangat untuk mengetahui lebih jauh tentang dia. Kurang lebih 4 bulan setelah saya dilahirkan, dia lahir di Jakarta. Seorang gadis manis yang merupakan anak dari pasangan Bogor – Jogja telah merebut hatiku kala itu. Dia mengalami masa remaja yang yang masih misterius hingga kini di Balikpapan, sebuah kota di Kalimantan Timur yang lebih besar dan maju dari pada ibukota propinsinya. Hingga dengan sebuah alasan pasti membuat dia pindah ke kota asal ibundanya, Jogja. Kegiatan menelpon menjadi sebuah rutinitas dan semangat belajar menjadi hilang ketika kegiatan itu tidak dilanjutkan. Mungkin ini cuma perasaanku saja, yang membuatku yakin kalau sesungguhnya rasa ini telah membuatku mampu meninggalkan kegiatan lainku selama tahun – tahun awal di SMA yang terletak di tepi jalan menuju kota Magelang. Perasaan itu juga membuat keyakinan yang amat tebal untuk mengatakan perasaan jujur yang telah saya simpan semenjak mengenal dia, kalo menurut beberapa buku yang saya baca dalam bahasa modifikasi bahasa latin adalah love at the first sight. Di sebuah burger booth yang terletak di kawasan sekolahnya. Dan jawabannya kali itu adalah air mata yang disamarkan. Karena seorang yang bernama sama dengan kawan akrab saya yang hingga kini masih dijadikan alasan untuk tidak bisa menyatukan kita.

Entah kenapa, karena dia, saya menjadi seorang yang mengikuti perkembangan film yang diterbitkan oleh Hollywood. Judul seperti A Walk to Remember, How to Loose a guy in 10 days, dan Lord of The Rings membuat saya menjadi maniak film mendadak. Tokoh seperti Orlando Bloom dan Erick Banna menjadi bahan pembicaran yang saat itu saya rasa mengasyikkan. Dan obrolan itu pula yang membuat saya masih bisa berhubungan dengannya. Meskipun sekali waktu saya memberanikan diri untuk berkunjung ke rumahnya di sebuah komplek yang berada di pinggir jalan menuju Kaliurang. Rumah itu pula yang sempat beberpa waktu menjadi semacam ritual yang harus saya lakukan ketika ada waktu untuk sekedar melewatinya dengan sedikit mengenang beberapa kejadian obrolan yang terjadi di terasnya.

...

Saatnya tiba, ya betul sebuah pilihan yang memaksa saya berpikir kalau jarak antara Jakarta dan Bandung adalah sebuah jarak yang menyebalkan. Memang dari semenjak kami berkenalan dia selalu mengutarakan niatnya untuk masuk ke jurusan teknik nomor 1 di Indonesia, tentu saja selain mendukung tim Jerman kesayangannya utnuk berlaga di Piala Dunia 2006 yang akhirnya diketahui kalau Italia adalah jawara.

Satu kali saya pernah mengunjunginya dan salah satu sudut institusi pendidikan itu menjadi saksi jika jarak adalah alasan dia tidak bisa menerima dan melanjutkan hubungan ini, tapi saat itu saya tetap berusaha untuk meyakinkan untuk tetap bertahan dan berusaha sabar atas halangan ini.

Hingga pada saatnya sebuah pesan singkat yang saya terima darinya memaksa saya untuk menuju warung internet dan membuka sebuah situs komunitas, Friendster, dan masuk menuju bagian pesan yang dari waktunya nampak jika baru dikirim pagi hari. Intinya adalah sebuah pengakuan karena adanya hubungan yang dia jalin dengan kawan satu jurusan yang berasal dari Tasikmalaya dan hobi bermain sama dengan saya, basket.

Kontan seribu rasa sedih yang menumpuk tidak mampu saya luapkan karena kelenjar air mata yang rusak. Meskipun kata maaf, jarak sebagai alasan, dan ketidakinginan untuk menyakiti lebih lama telah disebutkan dalam pesan itu. Tapi rasa aneh yang membuat nafas mendadak menjadi sesak dan pandangan berkunang-kunang telah terlanjur menghinggapi. Dan masa persiapan ujian yang akuntansi adalah jadwal yang diujikan besok, tidak membuat rasa tadi hilang. Karena alasan itu pula akhirnya saya mengambil keputusan untuk menelpon ibu yang ada di rumah. Mungkin karena hubungan batin dengan yang dilahirkannya, saat beliau mengangkat telepon langsung bertanya apakah saya ada masalah dan sebuah tarikan nafas yang dalam menjadi jawaban yang cukup membuat ibu tahu. Beliau kemudian juga bertanya apakah itu berhubungan dengan si-tiga-huruf yang ada di Bandung, lagi – lagi sebuah tarikan nafas menjadi jawaban. Ibu lalu bilang bahwa tindakan itu merupakan tindakan yang tidak pantas untuk dipikirkan terlebih lagi ujian akuntansi yang menunggu besok juga dapat menentukan nasib saya di sekolah negara dibawah naungan Departemen Keuangan ini. Beliau berkata kalau tindakan ini merupakan bukti ketidakpeduliannya terhadap saya, jadi buat saya harus memikirkannya toh dia juga melakukan tindakan ini tanpa memikirkan saya. Saya tahu kalo ini adalah sebuah nasihat ibu untuk saya yang waktu itu sedang labil, tapi kehangatan beliau yang terpancar dari kata yang diucapkannya cukup membuat saya tenang dan pulang kembali ke kamar pojok di tempat kos saya yang pertama dengan kepala tidak menunduk lagi.

Terima kasih ibu... Terima kasih Ami.

Guten Nacht!

Tidak ada komentar: